Feb
15
Awal Perkenalan
Dipertengahan tahun Seribu Sembilan Ratus Sembilan Puluh Sembilan aku mulai mengenal sosok Yuni Susilowati, yang kelak menjadi sahabatku. Saat itu kami terdaftar sebagai siswa kelas II. Kami memang satu SMA tetapi tidak pernah sekelas. Awal perkenalan kami bermula di sebuah organisasi ekstra kurikuler sekolah yang bersifat kerohanian (ROHIS-Red). Aku dipilih menjadi Sekretaris Umum dari Badan Pengurus Harian karena kakak kelas menganggap aku orang yang aktif, supel, mudah bergaul dan yang terpenting kata mereka aku cerewet. Aktifitas Keputrian ROHIS ini berupa pertemuan setiap hari jumat, tentu saja diluar jam sekolah. Tepatnya saat para laki – laki sedang melaksanakan sholat jumat. Kami biasanya mengadakan keputrian ini di ruang kelas yang kosong.
Setiap pertemuan aku bertugas memeriksa daftar hadir anggota. Tugas tersebut membuat aku mengetahui siapa anggota yang aktif dan tidak. Yuni termasuk anggota yang tidak aktif dan sering membolos. Sungguh, anggota seperti ini membuatku sedikit jengkel. Karena mengikuti organisasi ini tanpa paksaan. Jika atas keinginan sendiri tidak serius, bagaimana jika dalam keadaan terpaksa? Hal ini pula yang membuat aku “menandai” yuni dalam memori.
Yuni ternyata anak yang pendiam dan pemalu. Sangat bertolak belakang sekali dengan aku yang supel, cerewet dan tidak pemalu. Rupanya dia sebangku dengan teman SMP-ku. Sesekali aku main ke kelasnya dan mengobrol dengan teman SMP-ku itu, tetapi tak pernah Yuni turut bicara dalam obrolan tersebut.
Terkadang aku melihat Yuni berlari tergesa menuju kelasnya yang hampir memulai pelajaran. Pernah juga aku mendapatinya lari untuk menghindari ikut keputrian Rohis. Hanya sebatas itu aku mengenal Yuni.
***
Kedekatan itu
Pada bulan Mei tahun Dua Ribu Satu, setelah satu bulan penuh aktifitasku dipadati dengan latihan soal untuk menghadapi Ebtanas. Akupun mempersiapkan diri untuk menghadapi UMPTN dengan mengikuti les.
Saat masa seperti ini, sekolah memasuki masa tenang. Kami siswa kelas III tetap datang ke sekolah selama satu minggu untuk pengurusan dokumen pendaftaran UMPTN. Tiba-tiba aku bertemu dengan yuni dan sempat berbincang-bincang membahas rencana UMPTN.
Entah dimulai dari mana (mungkin kehendak Allah SWT juga), rupanya obrolan kami tidak berhenti sampai di UMPTN saja. Saat Yuni hendak pamit pulang, aku mengatakan belum ingin pulang. Spontan yuni mengajak ku untuk main kerumahnya. Letak rumah Yuni tidak jauh dari sekolah. Tentu saja gayung bersambut, karena aku belum mempunyai tempat tujuan.
Sebenarnya aku bukan orang yang pintar berbasa-basi , apalagi dengan orang sependiam dan sepemalu yuni. Tapi tidak untuk kali ini, semua terasa berbeda. Semua meluncur begitu saja dari mulutku, banyak sekali cerita yang terurai bahkan perihal kehidupan pribadiku. Mungkin tak semua orang bisa mengetahui cerita ini dariku. Kepribadian Yuni tidak membuat aku sungkan, saat itu yang kurasakan adalah teman yang baik, teman yang bisa diajak bicara bukan hanya sekedar teman curhat atau pendengar setia.
Tak hanya aku yang bercerita, Yuni juga menceritakan bagaimana kehidupannya, bagaimana dia berinteraksi dengan anggota keluarga dan hal-hal yang membentuk kepribadiannya seperti sekarang. Cerita kami tidak melulu tentang kehidupan, tapi juga masalah “hati”. Sungguh hari itu seperti pertemuan dua orang sahabat lama yang ingin menyampaikan rindu kepada sahabatnya. Itulah pertama kalinya kami berbincang lebih dari sekedar basa-basi.
Perbincangan dari hati ke hati itu menghabiskan waktu lebih dari 4-5 jam hingga tak terasa waktu beranjak sore, mentari pun segera kembali keperaduannya. Maka kuputuskan untuk pamit pulang sebelum orangtuaku mencari. Hari itu kulalui dengan penuh coretan warna kehidupan yang baru.
***
Komunikasiku dengan Yuni semakin baik dari hari ke hari. Meski kami masih suka berpikir, hal apa yang membuat kami dari hari ke hari semakin akrab. Perbedaan karakter yang kami miliki seperti Kutub magnet Utara dan Selatan yang susah disatukan, tetapi itu bukanlah hal yang mustahil.
Saat kami memasuki dunia kuliah, kami mulai sibuk dengan aktivitas kampus masing-masing. Waktu untuk bertemu menjadi terbatas dan minimnya komunikasi yang terjalin. Tak lama dari itu, Yuni harus pindah rumah ke daerah Bekasi yang letaknya cukup jauh dari jangkauan rumahku.
Kami sepakat bahwa komunikasi harus terjalin meski minim dan setidaknya dalam setahun harus ada pertemuan. Biasanya kami akan bertemu setelah lebaran disuatu mall didaerah bekasi (pertengahan antara rumah Yuni dan rumahku). Kami membiasakan untuk saling bertukar hadiah saat hari lahir (ulang tahun-red). Bukan karena ingin merayakan berkurangnya umur kami, tapi sebagai bentuk apresiasi dan kepedulian kami terhadap perjalanan hubungan persahabatan ini.
Hadiah yang diberikan biasanya bukan merupakan surprise, karena disesuaikan dengan kebutuhan saat itu. Setidaknya cara ini cukup berhasil untuk tetap “mengikat” kami hingga sekarang. Meski dalam setahun pernah tidak ada pertemuan sama sekali.
Ditahun Dua Ribu Empat Yuni kehilangan Ibunya, tak lama setelah kepindahannya ke Bekasi. Setahun setelah itu aku kehilangan Ayahku. Disusul Ibuku ditahun berikutnya. Aku sibuk menata ulang kehidupan bersama adik-adikku tanpa kedua orang tua, karena aku adalah anak pertama hingga aku harus menjadi kepala keluarga. Yuni juga sibuk memperbaiki hatinya yang kehilangan sosok Ibu, karena dia adalah anak perempuan satu – satunya dalam keluarga. Semua kondisi itu semakin memperburuk komunikasi kami.
Perkenalan dengan Kuri (Alm)
Suatu ketika Yuni mengenalkan aku dengan sahabatnya Kuri (Alm) yang kelak juga menjadi sahabatku. Ini bukan yang pertama kalinya dia mengenalkan aku dengan sahabatnya. Sebelumnya aku dikenalkan dengan Heni, Sahabatnya sejak SMP. Yuni pernah mengajak aku main kerumah Heni. Lalu ada Ika, dll.
Yuni adalah tipe yang ingin berbagi kepada semua orang dengan apa yang ia punya. Dari Yuni aku belajar banyak hal. Belajar memahami makna berbagi. Belajar untuk berbagi sahabatku kepada orang lain. Belajar memahami Rahmat Allah dan bersyukur atasnya.
Aku mengenal Kuri secara tidak sengaja, karena Yuni sering cerita dengan Kuri jika dia sedang jengkel denganku. Banyak hal yang Yuni ceritakan, terutama ketidakpekaanku terhadap keinginannya. Memang semenjak kami memasuki dunia kerja, komunikasi yang terjalin semakin buruk. Termasuk dengan hal – hal yang sudah kami sepakati.
Hari itu Kuri berteman dengan ku melalui Yahoo Messengger. Id-nya dia bernama Ik. Foto profile Kuri adalah anak kecil dengan busana daerah memegang toga, seperti kelulusan TK. Karena Id-nya Ik, kupikir dia adalah Ika. Aku mulai membuka pembicaraan mengenai pertemuan kami (aku dan ika) yang sebelumnya gagal. Kuri juga sangat ramah, dia bertanya bagaimana hubungan pertemananku dengan Yuni. Bagaimana komunikasi kami,dll. Aku menjawab dengan santai tapi detail karena dalam pikiranku dia adalah Ika dan perempuan.
Pertengkaran itu
Dalam tema pembahasan tertentu Kuri tidak merespon dengan tepat pembicaraanku. Timbul kecurigaan dalam batinku, siapakah dia? Aku mendesak Kuri agar menjelaskan siapa dia sebenarnya. Akhirnya Kuri menjelaskan bahwa dia adalah laki – laki dan perkenalannya denganku membawa misi perdamaian. Misi untuk mendamaikan aku dengan Yuni. Sungguh kaget aku dibuatnya, Kuri adalah laki – laki dan membawa misi mendamaikan aku? Aku bertanya dalam hati, apa benar aku dan Yuni sedang bertengkar? Sampai membuat Yuni melibatkan Kuri, sahabatnya itu kedalam “lingkaran” kami?
Memang sejak komunikasi yang buruk itu, sms-ku mudah sekali membuat Yuni terluka. Begitu juga sebaliknya. Luka itu disebabkan banyak hal, pemahaman intonasi yang salah, bahasa pesan itu yang terlalu menyakitkan atau juga karena hati sedang sensitif.
Rupanya saat itu kemarahan Yuni terhadapku mencapai puncaknya. Akumulasi amarah yang maha dahsyat itu tidak ku rasakan. Kuri menceritakan apa maksud dari misi perdamaian itu, apa yang terjadi dengan Yuni, bagaimana kekecewaannya dan tidak adanya kesadaran dari ku.
Bergegas aku menghubungi Yuni lewat Hp, tetapi Hp-nya tidak aktif. Aku memutuskan untuk mengirimkan sms ternyata tidak terkirim. Rupanya Yuni sudah menduga aku akan meneleponnya, maka dengan sengaja Yuni me-non-aktifkan Hp-nya. Lalu aku menelepon ke kantornya, Yuni tidak ingin menerima telepon.
Akhirnya aku menceritakan kepada Kuri bagaimana Yuni mengacuhkan aku. Juga ketidaktahuan aku akan hal ini. Kenapa ini semua dapat memburuk? aku tidak tahu apa sebabnya. Aku ingin meminta maaf dan memperbaiki ini semua. Karena buat aku, Yuni bukanlah hanya seorang sahabat, tapi juga kritikus, pengamat, guru, adik, kakak, saudara juga “pelangi” ku.
Kuri mempercayai keinginan dan kesungguhanku untuk memperbaiki hubungan itu. Kuri memutuskan untuk jadi “penyambung” kami. Kuri menyampaikan kepada Yuni apa yang telah aku sampaikan kepadanya. Yuni masih bersikeras marah kepadaku dan ingin menyudahi persahabatan kami, tetapi Kuri memarahinya bahwa tidaklah baik memperturutkan hawa nafsu, amarah. Apalagi jika sampai memutuskan tali silaturahmi.
Lalu Kuri meminta aku untuk menelepon Yuni kembali. Akhirnya aku berbicara dengan Yuni. Semua keluh kesah kami sampaikan sambil bersama-sama menangis terisak – isak di telepon.
Sejak saat itu kita saling mengingatkan bahwa tak boleh lagi menyimpan amarah, harus belajar lagi mengenali karakter masing-masing, harus punya segudang maaf, sekarung toleransi, satu truk cinta tak terbatas dan segelas airmata. Juga harus setia menjaga amanah, senantiasa komunikasi, menjunjung tinggi keterbukaan,saling tersenyum dan memberikan pelangi untuk sahabatnya.
Setelah pertengkaran hebat itu, kami mulai benar-benar memahami bahwa sebanyak apapun perbedaan tetap bisa dipersatukan dengan cinta karena Allah dan pengertian karena manusia tempatnya salah.
Kini ketika diantara kami mempunyai masalah, lalu belum bertukar informasi mengenai itu. Biasanya akan ada yang bertanya, “hai cinta, apa kabar hari ini?” atau “apakah dirimu baik-baik saja?” atau juga “assalam, apa warnamu hari ini?”. Spontan si penerima pesan akan langsung menjawab pertanyaan itu dan bercerita apa yang terjadi dengannya hari itu.
Lambat laun, kami menjadi sepemikiran dan sepandangan, sehati kata orang. Alhamdulillah pertengkaran hebat itu tidak meninggalkan dendam buat kami, karena dari pelajaran hidup kami masing-masing, kami belajar bahwa menyimpan dendam seperti menyimpan kentang dalam karung yang lambat laun akan membusuk. Dendam juga lambat laun dapat menggerogoti jiwa kami.
Yuni selalu bersemangat dengan hal baru dan berani mencobanya. Aku sudah sejak SMA sangat menyukai novel, berkeinginan menjadi penulis novel dan ingin ikut dalam forumnya. Tetapi aku tidak punya keberanian untuk memulainya karena selalu terbentur dengan pilihan hidup.
Rupanya keinginanku yang sudah lama ini menular kepada Yuni. Yuni jadi penasaran ada apa dengan novel dan forumnya. Dan kini Yuni lah yang “tercemplung” kedalam forum tersebut dan aku memulai ketertarikan dibidang yang lain.
Belakangan ini aku sedang menyukai dunia kuliner, mencoba membuat dan menjualnya tentu saja. Yuni mendukung hobby baruku ini. Aku menyenangi Yuni yang selalu berani mencoba hal baru, karena keberaniannya itu juga pasti akan menular kepadaku.
Kadang sambil bergurau Yuni mengatakan, aku yang membuat kue atau memasak dan dia yang akan menuliskannya. Bahkan obrolan kami sampai khayalan aku membuat restoran makanan sehat atau menjadi pengusaha makanan dan dia menjadi penulis hebat. Sungguh khayalan dan impian yang indah, semoga menjadi kenyataan dan menjadi warna lain dari kehidupan kami.
Yuni selalu bercerita tentang hal baru yang dia temui ataupun tentang hal lama tetapi hikmah tersembunyi yang baru saja terkuak dari hal lama tersebut. Dia juga suka mengajak aku untuk berlomba-lomba dalam hal kebaikan, menasehati aku lewat kelelahannya, mengajari aku lewat kesedihannya. Hal-hal macam itu sangat sarat makna dan semakin membuatku terus berupaya untuk memperbaiki diri dan mengingatkan untuk selalu bersyukur atas Nikmat Allah SWT.
Yuni juga keras kepala, kadang kami bertengkar kecil karena perbedaan pendapat. Kadang dia yang mengalah, kadang aku juga yang mengalah. Yuni kadang emosional. Tapi akhir-akhirnya ini dia belajar banyak tentang lingkungan dan orang-orang disekitar. Menjadikan dia belajar mengendalikan emosi dan mengurangi keras kepalanya.
Dengan penuh airmata perjalanan ini telah kami lalui, penuh tawa canda mewarnai coretan singkat garis kehidupan kami. Amarah dan kebelengguan hati turut memperdayai kami dalam mempertahankan ikatan ini. Warna – warni seperti pelangi.
Entah sampai kapan, tapi aku dan Yuni berharap semua ini takkan berakhir hingga maut memisahkan. Aku dan Yuni bersahabat dengan tulus, kami saling melengkapi dan kami saling menyayangi karena Allah SWT. Semoga Allah memberkahi ikatan ini, juga memberkahi semua ikatan seperti ini yang memang tulus karena Allah SWT. Aammiinn
Persahabatan itu penuh warna seperti berteman dengan pelangi. Warnanya lebih dari satu dan indah pada akhirnya. Nihlaa Hilaby ~ sudut ruang 251120112359
Recent Comments