Malaikat tak Bersayapku
Feb
15
Angin bertiup kearahku dan membelai lembut rambutku. Di kala itu sesekali mama merapihkan ikatan rambutku. Teliti sekali memperhatikan setiap detail dari diriku. Aku merindukan sentuhan lembutnya.
***
Ketika aku duduk dibangku TK. Mama yang mengantar, menunggui dan menemaniku hingga pulang. Mama sangat bahagia ketika dia melihat aku dapat mengikuti pelajaran dengan baik. Mama suka sekali membuatkan aku bekal untuk disekolah. Semua bekal itu mama buat dengan cinta disaat hari menjelang sore.
Saat aku duduk dibangku SD, mama masih suka mengantar aku ke sekolah seraya mengajarkan bagaimana cara menyeberang jalan raya yang aman, mencarikan jalur yang cepat dan juga mencarikan kantin yang sehat untuk jajanku. Mama juga masih suka membuatkan aku bekal, meski ditahun-tahun akhir sesekali mama absen karena kesibukannya dirumah.
Mama juga perlahan mengajarkan aku membersihkan rumah. Mulai dari menyapu, melap lantai, membersihkan perabotan, memasak nasi, memasak air, dan hal lainnya. Begitu banyak hal yang mama ajarkan kepadaku, karena aku anak pertama dari empat bersaudara membuat mama berkeinginan agar aku seperti dirinya. Meski aku masih dibangku SD tapi menyapu dan melap lantai menjadi kegiatan baruku. Perasan airku masih belum terlalu kering sehingga kadang membuat lantai becek, tetapi mama tetap mempercayakan kepadaku.
Saat masa SMP, mama tetap menjagaku dengan baik. Karena naluri seorang ibu, mama memaksa aku untuk diantar dan dijemput dengan mobil jemputan sekolah. Oh, mama ku sayang. Betapa beruntungnya aku memilikimu. Pilihan mama itu sungguh menyelamatkan aku dari pengaruh buruk narkoba, pergaulan yang tidak sehat dan kenakalan anak-anak seusai pulang sekolah. Tahun kedua dan ketiga mama sudah mengijinkan aku untuk naik angkutan umum, rupanya saat itu mama sedang mengajari aku bagaimana bentuk kepercayaan dan seperti apa pentingnya menjaga kepercayaan.
Saat aku memasuki dunia SMA itulah masanya aku mulai mencari jati diri. Mama membiarkan aku mencari bentuk diriku sendiri selama masih dijalur yang benar. Mama memantau semua aktifitas termasuk sekolah. Aktifitas ekstrakurikuler yang aku ikuti memang lebih dari satu, yaitu ROHIS (rohani Islam dengan sub divisi teater, leadership, teamwork) dan Olahraga dengan sub divisi Bulutangkis, Tenis Meja, Volley. Pada prinsipnya mama tidak keberatan dengan aktifitasku yang banyak selama aku tetap menjaga kepercayaannya dan menomorsatukan belajar.
Mama adalah malaikat tak bersayap untukku. Ketika lingkungan disekolah mendorong siswanya berkemampuan bahasa inggris yang baik, maka aku terpaksa harus mengikuti kursus bahasa. Saat itu kondisi keuangan papa sangat tidak baik, mama memutuskan menggunakan uang tabungannya untuk membiayai kursus bahasaku hingga selesai meski cara pembayarannya dicicil.
Masa-masa sekolahku dilewati dengan sentuhan malaikat tak bersayapku, begitu juga dengan kuliahku. Mama yang memilih dimana aku meneruskan pendidikanku. Meski awalnya aku menentang keputusan mama hingga kami bertengkar dan membuat mama berkata “ikuti pilihan mama atau tidak ada yang akan membiayai kamu!”. Saat itu kondisi keuangan papa masih kurang baik, maka kembali mama yang akan membiayai pendidikanku. Kesedihanku akan ketidakmampuan untuk menolak pilihan mama tidaklah sesedih hati mama karena pertengkaran itu.
Setiap jalan yang aku tempuh tidak lepas dari sentuhan mama, seperti jalan yang telah ditentukan oleh Allah SWT untuk hidupku. Dikampus pilihan mamalah aku belajar banyak hal, mulai dari berinteraksi dengan orang lain diberbagai organisasi yang aku geluti, belajar bekerja sambil kuliah untuk biaya hidupku sehari-hari dan juga membentuk diriku agar menjadi pribadi yang selalu bersyukur dalam segala hal.
Ditahun terakhir kuliahku, tiba-tiba papa pergi meninggalkan kami untuk bertemu dengan Sang Khalik. Mama memang bersedih, tetapi tak butuh waktu lama untuk kembali berdiri dan menghadapi kenyataan. Mama memutuskan membuka warung dihalaman rumah kami untuk menyambung hidup.
Kepergian papa yang tiba-tiba rupanya cukup berpengaruh kepada mama, karena mama menjadi mudah jatuh sakit. Lebih dari tiga kali mama harus keluar masuk ruang ICU dan ruang perawatan. Kondisi mama membuat kami seperti kehilangan arah tetapi juga “memaksa” kami untuk belajar menjadi kuat seperti mama.
Satu tahun empat bulan setelah kepergian papa, di jumat pertama bulan April mama menghembuskan nafas terakhirnya tepat disampingku. Dunia serasa runtuh karena aku kehilangan malaikat tak bersayapku. Padahal dua hari sebelumnya mama baru saja mengisyaratkan bahwa ia merestui aku untuk bekerja.
Satu hal yang baru belakangan ini aku ketahui ternyata uang untuk membuat warung adalah hasil meminjam dari saudara-saudaranya dan telah dilunasi oleh mama lima bulan sebelum kepergiannya. Betapa mulianya hatimu malaikat tak bersayapku, karena tidak kau biarkan anak-anakmu mengetahui ini hingga akhir hayatmu. Semoga kami dapat menjadi malaikat tak bersayap seperti dirimu.
***
Nihlaa Hilaby~diatas hamparan permadani 2012021412130
0 comments:
Post a Comment